Anda mungkin bertanya-tanya mengapa begitu banyak tokoh Boedi Oetomo yang menjadi Mason, atau bahkan mungkin tak percaya? Untuk mencapai tujuannya, Yahudi melakukan berbagai cara, termasuk menyusupi bidang pendidikan, kebudayaan, dan kesenian demi membentuk intelektual-intelektual yang dapat disusupi ke berbagai bidang pemerintahan dari suatu negara yang ingin dikuasainya, sehingga dengan demikian organisasi ini memiliki kekuatan pendukung dan pelindung yang kuat, yang memungkinkan gerakan mereka terus tumbuh dan berkembang tanpa dapat dibendung.
Sejarah mencatat, Boedi Oetomo dikenal sebagai organisasi kepemudaan pribumi di era kolonial Belanda yang mencetuskan nasionalisme dan menjadi salah satu penopang pergerakan pemuda di Tanah Air untuk melawan Belanda, namun Herry Nurdi dalam buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’ menyebut, lembaga pendidikan ini justru sangat menentang nasionalisme, karena sejak Vrijmetselarij ‘menunggangi’ organisasi ini, para Mason telah mencekoki para tokohnya dengan berbagai doktrin, termasuk doktrin Indonesia Baru yang dikonsep sesuai dengan tujuan mereka untuk menguasai dunia, dan sikap mereka yang menolak Islam serta Kristen, karena mereka menganut Kabbalah. Maka tak heran ketika KH. Ahmad Dahlan, salah seorang tokoh senior mereka, mengusulkan agar di organisasi mereka diadakan pengajian, mayoritas tokoh Boedi Oetomo menolak. Bahkan para penolak usulan kyai yang pada 1912 mendirikan Muhammadiyah itu tak segan-segan menghina dan menghujat Islam, serta menghasut umat Islam agar tak perlu berhaji karena hanya membuang-buang uang. Salah satu tokoh Boedi Oetomo yang bersikap keras terhadap Islam di antaranya Dr. Soetomo yang kemudian membentuk Surabaya Studie Club dan berdebat sengit dengan Sarekat Islam tentang banyak hal terkait dengan masalah-masalah ke-Islam-an, termasuk dalam hal berbangsa dan bernegara. Dalam kongres yang diselenggarakan pada 1952, Boedi Oetomo mengukuhkan kebudayaan Jawa sebagai dasar pendidikan mereka.
Para tokoh Boedi Oetomo. (int) |
Apa yang didoktrin para Mason kepada para tokoh Boedi Oetomo antara lain dapat dilacak dari tulisan Annie Besant, pemimpin besar Theosofische Vereeninging, Perkumpulan Theosofi di Hindia Belanda (baca; Indonesia) yang juga seorang Mason keturunan Belanda. Dalam artikel berjudul Soal Doenia yang diterbitkan majalah Liberty, Surabaya, Annie menulis begini ; “Ada orang mengira bahwa nilai dari tanah Arab, Nabi Muhammad ada berlainan dari Nabi dari agama-agama lainnya. Semua itu, meskipun berlainan rupanya, dan orang menganggap apa yang menjadi kenyataan sendiri ada lebih tinggi. Padahal semua agama itu menjadi sekawan dalam Rumah Bapak ini”.
Annie juga menyatakan, bahwa fanatisme agama adalah penyebab perseteruan dan konflik sosial di masyarakat. “Meskipun agama bukan satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peran”.
Tulisan ini jelas sekali menunjukkan doktrin antiagama dan sekuler. Doktrin inilah yang antara lain diduga kuat dicekoki kepada para tokoh Boedi Oetomo sehingga mereka ‘memusuhi’ Islam. Doktrin ini dicekoki melalui berbagai cara, termasuk melalui gerakan theosofi, sebuah gerakan yang dilembagakan dengan nama Perkumpulan Theosofi dan didirikan Freemasonry di New York, AS, pada 17 November 1875. Perkumpulan berbentuk badan internasional ini memiliki tiga tujuan utama, yakni mengadakan inti persaudaraan antara sesama manusia tanpa memandang bangsa, kepercayaan, kelamin, kaum atau warna kulit; memajukan pelajaran dengan mencari persamaan dalam agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan; dan menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan kekuatan-kekuatan dalam manusia yang masih terpendam.
Sekilas, ketiga tujuan itu memang sangat baik dan mulia, namun jika dicermati lebih mendalam, tujuan-tujuan itu cenderung merusak agama dan tatanan hidup manusia, karena dari perkumpulan inilah kemudian muncul istilah-istilah pluralisme, kebebasan berfikir, liberalisme, bahwa semua agama itu sama, dan lain-lain, serta mendorong orang untuk mengkaji hal-hal ghaib seperti mengkaji tenaga dalam dari alam maupun dari dalam diri manusia sendiri. Bahkan saat memberikan ceramah dalam pertemuan The Indonesian-Pakistan Culture Association yang diselenggarakan di Amerika pada 9 Desember 1953, tokoh nasional yang dikenal sebagai diplomat ulung, H. Agus Salim, mengaku, kalau keterlibatannya dalam Perkumpulan Theosofi membuatnya ‘terjerumus’ ke dalam dunia politik selama lebih dari 40 tahun.
“Namun di sini hendak saya ikrarkan, bahwa mulai saat ini pesan yang hendak saya bawa ialah pesan agama Islam. Saya tidak akan menghiraukan soal-soal politik, karena bila ada terdapat suatu upaya untuk menyembuhkan segala penyakit di dunia ini, saya yakin upaya itu tidak lain daripada mencari jalan menuju ke Allah, dan memperjelas jalan itu,” tegasnya.
Tak lama setelah mengeluarkan pernyataan ini, Agus Salim keluar dari Perkumpulan Theosofische Vereeninging, Perkumpulan Theosofi di Indonesia.
Tokoh nasional yang lain yang pernah tercatat sebagai tokoh Perkumpulan Theosofi, menurut Herry Nurdi dalam buku ‘Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia’, adalah ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat, dan Achmad Subardjo, salah seorang menteri dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno. Dr. Radjiman adalah propagadis terkemuka dari Theosofi yang menyebarkan ajaran-ajaran Theosofi melalui cerita-cerita wayang.
Bukti bahwa Boedi Oetomo dibina oleh Vrijmetselarij di antaranya adalah, Kongres I organisasi ini pada 1926 terlaksana berkat inisiatif Theosofische Vereeninging dan diselenggarakan di Loji Broederkarten sehingga sempat menimbulkan gelombang protes di kalangan pemuda dalam anggota organisasi itu, dan Kongres II diselenggarakan di Loji Mataram dan dihadiri Bupati Karanganyar, Surakarta, Raden Adipati Tirto Koesomo yang merupakan tokoh Vritmetselarij dan tercatat sebagai anggota Loji Mataram sejak 1895.
Lambang negara Indonesia dan Amerika. (int) |
Karenanya, menurut Herry Nurdi, tidak berlebihan jika disebutkan bahwa gerakan-gerakan awal di Indonesia untuk meraih kemerdekaan, bahkan gerakan yang dianggap pemerintah sebagai pelopor kebangkitan Indonesia seperti Boedi Oetomo, sangat terwarnai, bahkan dipengaruhi gerakan Zionis Internasional melalui Vrijmetselarij sebagai kepanjangan tangannya di Indonesia. Bahkan cermati baik-baik tulisan pada lambang negara Amerika Serikat, burung rajawali, yang berhiaskan tulisan ‘E Pluribus Unum’ dengan tulisan pada lambang negara Indonesia, garuda, yang berhiaskan tulisan ‘Bhineka Tunggal Ika’. U Pluribus Unum berarti ‘satu dari yang banyak’, sementara Bhineka Tunggal Ika berarti ‘meski berbeda-beda namun tetap satu’. Kedua kalimat itu memiliki makna yang sama.
Selain persamaan makna kata itu, coba cermati baik-baik lambang negara Indonesia dan Amerika, akan terlihat mirip, dan bahkan sama-sama memiliki perisai di dadanya. Menurut Herry Nurdi, lambang negara Indonesia sebenarnya merupakan bentuk lain dari Dewa Horus, salah satu simbol suci bagi masyarakat Yahudi.
Tentang hal ini, penulis buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’ ini merujuk pada penjelasan tentang lambang negara yang tercantum dalam lembaran negara Peraturan Pemerintah (PP) No. 66/1951 tanggal 17 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Pasal 3 PP ini dijelaskan, bahwa “Burung garuda yang digantungi perisai itu ialah lambing tenaga pembangun (creative vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung garuda dari mythology menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung elang rajawali. Burung itu dilukiskan di Candi Dieng, Prambanan, dan Panataran. Ada kalanya dengan memakai lukisan berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap (Dieng); di candi Prambanan dan di candi di Jawa Timur rupanya seperti burung, dengan berparuh panjang berambut raksasa dan bercakar. Lihatlah lukisan garuda di candi Mendut, Prambanan, dan candi-candi Sukuh, Kendal di Jawa Timur”.
Kalimat-kalimat yang di-bold dan digarisbawahi memiliki penggambaran yang sama persis dengan sekripsi wujud Dewa Horus, yakni berupa manusia berparuh burung dan bersayap, berambut, dan bercakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar